BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Fiqh ibadah merupakan pemahaman mendalam tentang nash-nash yang terdapat didalam al-Qur’an dan as-sunnah yang berkaitan dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang sah tentang penghambaan diri manusia kepada allah Swt. Didalam fiqh ibadah dikaji banyak sekali ibadah-ibadah .
Ibadah mengandung unsur-unsur ketundukan dan kecintaan yang paling dalam kepada allah swt. Unsur yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan kecintaan merupakan implementasi dari ibadah tersebut. Disamping itu ibadah juga mengandung unsur kehinaan, yaitu kehinaan yang paling rendah dihadapan Allah swt. Pada mulanya ibadah merupakan “hubungan” karena adanya “hubugan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi hati, kemudian tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai pada puncak kecintaan kepada Allah SWT.
Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak dinamakan ‘Abid (orang yang beribadah) begitu juga dengan orang yang cinta kepada sesuatu tapi tidak tunduk kepadanya, seperti orang yang mencintai anak dan temannya. Kecintaan yang sempurna adalah kepada Allah SWT. Setiap kecintaan yang bersifat sempurna terhadap selain Allah SWT adalah batil.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiaman pengertian fiqih ibadah ?
2. Apa dasar hukum ibadah ?
3. Apa tujuan fiqih ibadah ?
4. Syarat- syarat diterimanya ibadah
5. Sarana meraih nikmatnya ibadah
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami apa itu fiqih ibadah
2. Mengetahui dasar hukum fiqih ibadah
3. Mengetahui tujuan fiqih ibadah
4. Mengetahui apa yang menjadi syarat diterimanya ibadah
5. Mengetahui sarana untuk meraih nikmat dari suatu ibadah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Fiqih Ibadah
Jadi kata fiqh secara arti kata berarti : “paham yang mendalam”. Semua kata” fa qa ha” yang terdapat dalam al-quran mengandung arti ini. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah at-tirmidzi menyebutkan “fiqh tentang sesuatu “ berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Secara definitif ibnu subki dalam kitabnya jam’u al- jawami’ fiqh berarti:
“Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”
Dalam definisi ini fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak seperti disbutkan diatas karena fiqh itu bersifat zanni, karena ia adalah hasil apa yang dicapai melalui ijtihadnya para mujtahid; sedangkan ilmu itu mengandung arti suatu yang pasti atau qath’iy. Namun karena zhann dalam suatu fiqh itu kuat, maka ia mendekat kepada ilmu karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.
Dalam definisi diatas terdapat beberapa baasan atau pasal yang disamping menjelaskan hakikat dari fiqh itu, sekaligus juga memisahkan arti kata fiqh itu dari yang bukan fiqh.
Kata “hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu berbicara tentang hukum. Hal ini berarti bahwa bila yang dibicarakannya bukan hal yang menyangkut hukum,seperti tentang zat, sifat dan kejadian, ia bukanlah fiqh dalam pengertian ini. Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam” kata hukum disebut dalam definisi ini dalam bentuk jamak, adalah untuk menjelasakan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yag disebut hukum.
Nah, jika kita membahas tentang ibadah, ibadah berasal dari akar kata bahasa arab “ abada-ya’budu-abdan” yang berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri dan hina. Kesemua pengertian ini memiliki arti yang dekat. Seseorang yang patuh merendahkan diri disebut abid (yang beribadah). Budak disebut abdun karena dia harus tunduk dan patuh terhadap majikannya.
Menutrut abu al-A’la al-Maududi lata “abada” secara kebahasaan pada mulanya mempunyai pengertian ketundukan seseorang kepada orang lain dan orang tersebut menguasainya. Oleh karena itu, ketika disebut kata al’abdu dan al’ibaadatu’ yang tercepat tertangkap dalam pikiran orang adalah ketundukan dan kehinaan budak dihadapan majikan dan mengikuti segala macam perintahnya. Ketundukan itu tidak hanya berbentuk tunduk kepala tapi juga menundukan hati.
Muhammad abduh ketika menafsirkan surah al-fatihah mengatakan bahwa ibadah adalah ketaatan yang paling tinggi. Disamping itu pengertian ibadah juga dapat dilihat dari segi objeknya. Jika objek ketaatan itu adalah sesuatu yang konkrit, seperti penguasa, maka tidak dinamakan ibadah. Tetapi apabila objeknya sesuatu yang maha besar yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera dapat dikatakan ibadah. Ibadah menurut ahli fiqh adalah segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk mencapai keridhaan allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.
Allah maha kaya dan tidak mengharapkan apa-apa dari manusia. Dari segi hubungan yang ditimbulkan dari ibadat itu ada yang memang murni untuk allah dan tidak dirasakan secara langsung oleh orang lain; seperti sholat dan puasa. Adapun ibadah lain seperti zakat disamping manfaatnya dirasakan secara langsung oleh yag berzakat, hasil dari perbuatan ibadah itu sendiri lebih banyak untuk kepentingan orang lain.
Jadi jika kita menafsirkan apa itu fiqh ibadah jika dilihat dari penjelasan diatas yaitu sebuah pemahaman yang mendalam atau suatu hukum hukum dalam melaksanakan ibadah atau menjalankan ketaatan kita kepada yg maha kuasa.
2. Dasar Hukum Ibadah
Al quran sebagai dasar hukum utama. Dasar hukum pelaksanaan ibadah adalah nash al-quran. Di dalam al-quran banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan perintah kepada kepada hamba allah untuk melaksanakan ibadah. Ibadah dalam islam sebenarnya bukan bertujuan supaya tuhan disembah dalam arti penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif, melainkan sebagai perwujudan rasa syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan allah atas hamba-hambanya. Ibadah yang diterima harus berdasarkan ke tauhidan, ke ikhlasan, dan sesuai dengan syariat islam.
Ayat yang memerintahkan hamba allah untuk hanya beribadah kepada allah
Dalam surah Al-Fatihah ayat 5, Allah SWT berfirman:
“Hanya kepada engkaulah kami menyembah dan hanya kepada engkaulah kami mohon pertolongan”
Az zariyat ayat 56:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku”
As- sunnah sebagai dasar hukum kedua:
Dari Ibnu Mas’ud
“Barang siapa mati dalam keadaan menyeru (berdoa atau beribadah) kepada selain allah maka ia akan masuk neraka.” (H.R. Imam Bukhari)
3. Tujuan Ibadah
Ibadah mempunyai tujuan tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokoknya adalah menghadapkan diri kepada allah yang maha esa dan mengkonsentrasikan niat kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan adanya tujuan itu seseorang akan mencapai derajat yang tinggi di akhirat. Sedangkan tujuan tambahan adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik. Shalat umpamanya. Di syari’atkan pada dasarnya bertujuan untuk menundukkan diri kepada allah SWT dengan ikhlas, mengingatkan diri dengan berzikir. Sedangkan tujuan tambahannya antara lain adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, seperti didalam al quran
Sesunggunya sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan sesungguhnya mengingat allah SWT lebih besar. (QS 29: 45).
Selain dari untuk menghindarkan diri dari kemungkaran dan kekejian masih banyak tujuan lain yg dapat diwujudkan melalui ibadh sholat, seperti beristirahat dari kesibukan dunia, membantu dalam memenuhi kebutuhan, membawa seseorang masuk surga dan menjauhkannya dari neraka.
4. Syarat ibadah diterima
Agar ibadah diterima di sisi allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu :
1. Ikhlas karena allah
2. Mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu’ Alaihi Wa Sallam (ittiba’)
Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadahmu menjadi tertolak.
Ibnu katsir rahimahullah menjelaskan. “maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh” maksudnya adalah mencocoki syariat allah (mengikuti petunjuk nabi shallallahu alaihi wasallam) dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada tuhannya.” Maksudnya selalau mengharap wajah allahn semata dan tidak berbuat syirik kepadanya . inilah dua rukun diterimanya ibadah. Yaitu harus ikhlas karena allah dan harus mengikuti petunjuk rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al fudhail bin iyadh tatkala menjelaskan mengenai firman allah.
“supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” Yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab ( mencocoki ajaran nabi shallallahu alaihi wa sallam.)
Lalu al fudhail berkata, “ apabila amala dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran nabi shallallahu alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima begitu pula , apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah akan diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena allah SWT. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran nabi SAW
Juga pada hadis ummul mukminin, ‘ aisyah radiyallahu ’ anha, rasulullah saw bersabda,
“ barang siapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya , maka perkara tersebut tertolak”
5. Sarana Meraih Nikmatnya Ibadah.
Nikmat menurut presepsi kita masing-masing adalah sesuatu yang lezat, sesuatu yang memilki rasa, seperti makanan dan minuman. Lalu apakah nikmat juga terdapat didalam ibadah yang kita kerjakan.
Tentu saja jawabannya sangat mungkin sekali.karena sejatinya rasa nikmat atau kelezatan itu muaranya adalah di hati dan perasaan kita, dan bukan di indra kita yang lima. Bagi kebanyakan manusia, mungkin duren adalah buah yang lezat dan nikmat dikarenakan aromanya yang harum dan rasanya sangat memanjakan lidah. Tapi banyak bagi sebagian orang yang benci terhadap si duren ini, jangankan memakannya, menciumnya saja sudah serasa ingin muntah.
Rasulullah bersabda
“akan merasakan manisnya iman, seorang yang ridha allah sebagai Rabbnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul.”(HR.Muslim no.56)
Jadi pada hadis diatas rasulullah saw menyebutkan bahwasanya iman itu rasanya manis dan bisa dirasakan oleh kita. Rasa manis tentu saja hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang jujur kecintaanya terhadap allah dan rasulNya, sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadists. Orang-orang yang fasiq, ahli maksiat, terlebih orang kafir, tentu saja tidak dapat menikmati lezatnya iman tersebut.
Jadi sesungguhnya kenikmatan itu bermuara didalam hati, sekalipun anggota tubuh yang lain merasakan penderitaan tapi jiwa ini merasakan kenikmatan. Jika kia mengambil contoh dasar kita bisa merasakan nikmatnya makanan dan minuman karena perbedaan sebelum kita makan dan minum, sebelum kita makan dan minum kita merasa kelaparan dan ketika kita selesai makan disitulah kita merasakan nikmat dari makanan tersebut, begitu pula oranh yang bisa merasakan nikmatnya beribadah , keadaan ia sebelum dia melaksanakan ibadah tersebut berbeda dengan keadaan setelah ia selesai dari melakukan ibadah tersebut. Jika kondisi orang sebelum ibadah dan sesudah sama saja maka itu wajib dipertanyakan. Oleh karena itu marilah kita sama-sama mengoresi ibadah kita masing-masing
DAFTAR PUSTAKA
-
DR. Ritonga, A. Rahman dan Dr. Zainuddin MA. 1997. FIQH IBADAH. JAKARTA: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta Pamulang
DR. Ritonga, A. Rahman dan Dr. Zainuddin MA. 1997. FIQH IBADAH. JAKARTA: Penerbit Gaya Media Pratama Jakarta Pamulang
- Syarifuddin, Prof.Dr. Amir. 2003. GARIS- GARIS BESAR FIQH. JAKARTA TIMUR: PRENADA MEDIA
- Muchsin, Agus. 2019. ILMU FIQIH. YOGYAKARTA: jusuf kalla school of government toward better govermance
Setiawan, Budi, Ustadz Kukuh. Tanpa Tahun. MERASAKAN KENIKMATAN IBADAH KEPADA ALLAH. BOYOLALI. Ponpes muslim merapi boyolali: google
Setiawan, Budi, Ustadz Kukuh. Tanpa Tahun. MERASAKAN KENIKMATAN IBADAH KEPADA ALLAH. BOYOLALI. Ponpes muslim merapi boyolali: google
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian Fiqih Ibadah"
Posting Komentar