PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
Thaharah secara bahasa adalah bersih dari najis dan kotoran, baik secara indrawi maupun maknawi. Secara istilah, thaharah menurut ulama Hanafiyah adalah bersih dari hadasts dan khubuts (kotoran). Ulama Malikiyah mendefinisikan thaharah sebagai sifat hukum yang menjadi keharusan untuk dibolehkannya sholat, dengan pakaian dan tempat yang digunakan sholat. Menurut ulama Syafi’iyah, thaharah mencakup dua pengertian. Pertama, melakukan sesuatu yang dibolehkannya sholat, seperti wudhu, mandi, tayammum, dan menghilangjan najis. Kedua, thaharah berarti menghilangkan hadats atau najis, seperti tayammum dan mandi-mandi sunnah. Manurut Hanabilah, thaharah adalah menghilangkan hadats dan yang serupa dengannya, serta menghilangkan najis dan apa yang dihukumi najis.
Penyucian terdiri atas dua jenis: suci dari yang datang dari luar, dari hal hal yang sifatnya tidak melekat, dari kotoran yang sifatnya materi dan dari najis, dan suci secara rohaniah dari najis yang sifatnya melekat. Adapun penjelasan lain dari tahaharah yaitu dari lafadz thahurun dalam hadis berarti pencuci dosa , sebagaimana diterangkan dalam hadis lain bahwa Rasulullah saw. bersabda, “sesungguhnya sakit itu adalah pencuci sebagian dosa.” Yang dimaksud di sini adalah kotoran yang bersifat maknawi
Imam an-Nawai mendefinisikan thaharah kegiatan yang mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau yang serupa dengan kedua kegiatan itu dari segi bentuk dan maknanya
Asy-Syafi’I mengatakan bahwa ada beberapa jenis air yang boleh digunakan untuk bersuci, yaitu air hujan, air sungai, air sumur, air yang keluar dari celah-celah bukit, dan air laut, kemudian diolongkan menjadi beberapa macam air yaitu:
Air mutlak adalah air yang suci dan dapat menyucikan benda, yaitu setiap air yang jatuh dari langit atau yang bersumber dari bumi, yang keadaan asalnya tetap, satu dari tiga sifatnya (warna, rasa, dan bau) tidak berbau atau berubah, atau berubah namun penyebabnya tidak sampai menghilangkan sifat menyucikan yang terdapat padanya, seperti disebabkan oleh tanah yang suci, garam, atau tumbuhan air. Dan juga, air itu belum musta’mal yaitu belum digunakan untuk bersuci seperti air hujan, air yang mengalir diantara dua bukit, mata air, air telaga, air sungai, air laut, air salju, dan lain lain baik air tawar atau asin. Termasuk juga air beku (es), air yang menjadi garam atau air yang menjadi uap, karena semuanya itu adalah air yang sebenarnya.
Namun ulama Hanafi mengatakan bahwa air asin dapat menyucikan sebelum ia menjadi garam. Tetapi setelah ia menjadi garam dan kemudian mencair lagi, maka ia suci lagi tetapi tidak dapat menyucikan. Oleh sebab itu, tidak boleh mengangkat hadast dengan air itu, tetapi dapat digunakan untuk menghilangkan najis.
Jadi, air mutlak ini suci dan dapat menyucikan menurut ijma ulama, dan ia dapat digunakan untuk menghilangkan najis, dan dapat juga digunakan untuk berwudhu dan mandi (sunnah atau wajib),
berdasarkan firman Allah swt,.
“…dan kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (al-furqan:48)
“…dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu….” (al-anfal:11)
Dan juga sabda Rasul saw,.
“sesungguhnya air itu menyucikan. Ia tidak menjadi najis kecuali yang berubah bau, rasa dan warnanya.”
Air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi besar. Hukum air musta’mal adalah thahur, suci dan menyucikan, seperti air mutlak. Hal karena pada mulanya, air tersebut memang suci dan menyucikan. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa air musta’mal berubah dari kondisi asalnya, yaitu thahur.
Menurut pendapat madzab Maliki, air musta’mal adalah suci dan menyucikan. Dan menurut pendapat yang rajih, menggunakan air musta’mal untuk menghilangkan najis, atau membasuh wajah dan seumpamanya adalah tidak makruh. Tetapi apabila digunakan untuk mengangkat hadas atau mandi sunnah apabila ada air lain adalah makruh, jika memang air musta’mal itu sedikit.
Rubayyi’ binti Mu’awwidz meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengusap kepala beliau dengan air wudhu yang tersisa di tangan beliau. Dalam redaksi yang berbeda Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengusap kepalanya dengan sisa air yang masih ada di tangan beliau.
Ibnu Mundzir menceritakan, “Para ulama seperti Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha, Hasan, Matkhul, dan Imam Nakha’I mengatakan bahwa orang yang lupa mengusap kepalanya, kemudian ia ingat, dan masih ada sisa air di janggutnya, ia bisa mengusap air kepalanya dengan air itu. Hal ini membuktikan bahwa para ulama berpendapat bahwa air musta’mal bisa menyucikan. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat mazhab Syafi’i. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat Sufyan ats- tsauri, Abu Tsaur, dan para ulama tekstualis (ahlu zhahir).
Air musta’mal yang suci boleh digunakan untuk menghilngkan najis dengan tiga syarat yaitu:
a) Menurut pendapat yang paling ashah, hendaklah air itu mengalir diatas tempat najis apabila air itu sedikit najis, supaya ia tidak menjadi najis sebagaimana jika air itu tidak dialirkan. Karena, ia akan menjdi najis apabila terkena najis.
b) Air yang tepisah dari tempat najis itu hendaklah tidak berubah salah satu sifatnya, dan tempat itu menjadi suci.
c) Hendaklah berat air itu tidak bertambah setelah air diserap oleh kain dan setelah kotoran itu bercampur dengan air. Jika air berubah atau bertambah timbangannya, atau tempat yang terkena najis itu tidak suci, yaitu masih ada warna najis dan baunya, atau rasanya saja, dan sebenarnya tidak susah menghilangkannya, maka itu menjukkan masih ada zat najisnya.
Sesuatu yang suci itu seperti sabun, minyak za’faran, tepung, dan hal hal lain yang biasanya terpisah dari air. Air jenis ini hukumnya suci dan menyucikan, selama ia masih dianggap sebagai air mutlak, maksudnya air yang bercampur dengan benda benda tersebut masih disebut sebagai air secara definitive. Namun jika identitas air tersebut juga berubah, tidak lagi diangap sebagai air mutlak, maka ia hanya suci, tapi tidak menyucikan.
Air yang najis ialah air yang terkena benda najis yang tidak di maafkan oleh syara’ seperti tahi yang sedikit, dan air tersebut tidak mengalir dan juga sedikit. Air yang mengalir menjadi najis apabila ada bekas najis padanya. Yang dimaksud bekas najis ialah rasa najis, warnanya,atau baunya.
Air yang terkena najis terdiri atas dua macam:
· Pertama, najis tersebut mengubah rasa, warna dan bau air. Dalam kondisi seperti ini, air tersebut tidak bisa digunakan. Pendapat yang disampaikan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.
· Kedua, air tersebut masih mempertahankan identitasnya; tidak berubah rasa, warna dan baunya. Jika begitu, maka air ini suci dan menyucikan, baik jumlah air tersebut sedikit maupun banyak.
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai ukuran banyak ataupun sedikitnya air. Menurut pendapat Abu Hanifah, air yang banyak ialah apabila air itu di kocok pada salah satu bagiannya, maka bagian lainnya tidak bergerak. Air yang sedikit ialah air yang kurang dari ukuran 10 kali 10 hasta biasa, bentuk persegi panjang. Seadangkan madzab Maliki tidak menetapkan kadar banyak air. Mereka hanya menetapkan bahwa air yang sedikit adalah makruh, yaitu sekedar satu ukuran yang cukup untuk wudhu atau mandi, atau kurang dari ukuran itu. Jika air yang sedikit tidak kemasukan najis yang sedikit sperti setitik, dan air tidak mengalami perubahan, maka menggunakan air itu untuk mengangkat hadast atau untuk menghilangkan najis adalah makruh. Namun jika digunakan untuk bersuci yang sunnah dan yang mustahab, maka hukumnya adalah tawaqquf (tidak ada putusan). Dan kalau digunakan untuk adat / kebiasaan, maka tidak makruh.
Kadar air sedikit menurut pendapat ulama syafi’I dan Hambali ialah dua kullah jenis kullah Hajar ( nama tempat) yang ukurannya sama dengan lima qirbah (satu qirbah sama dengan 100 kati Bagdad, maka dua kullah sama dengan 500 kati Baghdad. Apabila air mencapai dua kullah, lalu ada najis yang jatuh ke dalamnya, baik najis itu beku atau cair, dan tidak ada perubahan rasa, warna atau bau air, maka air itu dianggap suci dan menyucikan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW.,
“Apabila air mencapai dua kullah, maka ia tidak membawa (yahmil) najis.”.
Najis adalah kotoran yang mewajibkan seorang muslim untuk mensucikan diri dari dan kepada apa yang dikenainya. Yang perlu diketahui adalah yang termasuk benda najis adalah bangkai, darah, daging babi, muntah, kencing, dan kotoran manusia atau binatang. Benda benda najis ini jika mengenai badan, pakaian, atau tempat yang hendak di gunakan untuk shalat, terlebih dahulu harus dihilangkan najisnya dengan air sehingga hilang bau, rasa, maupun warnanya, sehingga menjadi suci.
Ada beberapa cara yang digunakan untuk menghilangkan khubuts atau najis yaitu:
Dalam hal ini, air terdiri dari 3 macam, yakni: 1) air suci mensucikan Ghair makruh seperti air mutlak; 2) air suci yang mensucikan tetapi jika digunakan untuk menyicukan pakaian, yaitu seperti ma musyammas (air panas akibat sinar matahari); 3) air yang terkena benda najis.
Berubahnya benda najis menjadi sesuatu yang baik, seperti perubahan khamr menjadi cuka, dan darah ghazal (kijang) menjadi minyak misik (parfum).
Adapun tata cara dalam hal bersuci dari najis menurut pengelompokan najis yaitu sebagai berikut:
1) Sesuatu yang terkena najis Mughalladzah (najis berat),
Contoh najis ini seperti dijilat anjing atau babi, menurut ulama Maliki berkata bahwa semua anjing baik yang boleh digunakan dan buruan ataupun yang tidak boleh, hanya jilatannya saja yang wajib dibasuh sebanyak tujuh kali secara ta’bbudi. Ini adalah pendapat yang masyhur dari kalangan mereka. Sehingga tidak wajib membasuh 7 kali apabila anjing itu hanya memasukkan kakinya ataupun memasukkan lidahnya kedalam sesuatu bejana air, tapi tanpa menggerakkannya ataupun tanpa terjatuh air liurnya. Ulama mazhab Syafi’I dan Hambali berkata bahwa anjing, babi, dan keturunan yang lahir dari keduanya , termasuk kotoran dan keringatnya adalah najis ‘ain. Oleh sebab itu, apa saja yang disentuh oleh binatang itu hendaklah dibasuh sebanyak 7 kali, salah satunya adalah dengan tanah. Sebagaiman sabda Rasulullah saw,.
“jika anjing menjilat bejana kalian, maka basuhlah sebanyak tujuhkali dengan basuhan pertama di campur tanah.” (HR Muslim dan lainnya)
2) Sesuatu yang terkena najis Mukhaffafah (najis ringan),
Najis ini seperti air kencing anak laki laki yang belum memakan makanan apapun kecuali susu, maka ulama madzab Syafi’I dan Hambali memutuskan bahwa apa saja yang terkena najis air kencing ataupun muntah anak lelaki yang belum memakan makanan apapun ( yaitu sebelum umurnya mencapai dua tahun)selain susu saja (ini tidak termasuk bahan yang disuap ke mulutnya ketiaka acara tahnik disaat dia baru dilahirkan seperti buah tamar) maka untuk membersihkannya adalah dengan cara memercikkan air ketempat tersebut. Tetapi, tempat yamg terkena air kencing anak anak peremuan atau anak anak khunsa harus dibasu dengan mengalirkan air ke tempat tersebut. Ini berdasarkan kepada hukum asal mengenai air kencing yang najis. Air kencing anak lelaki dikecualikan karena ia sering digendong. Alasan ini diambil dari hadist riwayat asy-Syaikhan dari ummu Qais binti Mihsan yang membawa anak lelakinya yang belum memakan makanan apa pun kepada Rasulullah saw, lalu Ummu Qais meletakkan ananknya itu diatas pangkuan Rasul, dan anak itu kemudian kencing di atasnya. Rasul kemudian meminta air dan memercikkan air tersebut tanpa membasuhnya. Dalam riwayat at-Tirmidzi yang mengakui bahwa hadis itu adalah hasan disebutkan. Perbedaan antara air kencing anak perempuan dan air kencing anak laki laki adalah bahwasanya anak laki laki sering di gendong, maka hukum air kencingnya diringankan, disamping itu air kencing anak laki laki lebih lembut daripada air kencing anak perempuan yang menyebabkan ia tidak melekat di tempat kencingnya. Sedangkan ulama madzab Hanafi dan Maliki menegaskan bahwa air kencing ataupun muntah anak lelaki dan juga perempuan adalah najis dan semuanya wajib dibasuh. Hal ini berdasarkan keumuman maksud dari beberapa buah hadis yang menyuruh agar semua jenis air kencing dibasuh. Diantaranya adalah sebuah hadist
“basulah air kencing, karena kebanyakan azab kubur itu datang darinya”
Namun, ulama mazhab maliki berkata, air kencing ataupun tahi anak kecil yang terkena pakaian ataupun badan orang yang menyusuinya adalah di maafkan, baik yang menyusui itu ibunya sendiri ataupun bukan. Dengan syarat, apabila dia memang berusaha menghindarkan diri dari najis tersebut ketika najis itu keluar. Jika dia yidak ada usaha untuk itu, maka tidak di maafkan. Namun, dia disunnahkan membasuhnya jika memang kotorannya terlihat.
3) Najis mutawassitah,
Najis ini dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ‘ainiyahnya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasa najis tersebut baru kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan. Sebagai contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah. Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak adanya warna, bau, rasa dan lantai juga terlihat kering) baru kemudian menyiramkan air kelantai yang terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air ini bisa juga di ganti dengan mengelapnya menggunakan kain yang bersih dan basah dengan air yang cukup. Selain itu darah dan nanah juga termasuk najis sebagaimaa dijelaskan bahwa darah manusia selain darah orang yang mati syahid, dan darah binatang selain binatang laut, yamg mengalir keluar dari tubunya baik semasa hidupnya ataupun sesudah matinya, jika memang ia mengalir banyak, maka darah tersebut dihukumi najis. Oleh sebab itu darah orng yang mati syahid selama darahnya masih berada di badannya tidaklah termasuk najis. Begitu juga darah ikan, jantung, limpa, dan hati dan semua darah yang berada dalam saraf binatang sesudah ia disembelih, selama ia tidak mengalir, juga tidak termasuk kedalam hukum najis. Begitu juga darah kutu dan kepinding, meskipun banyak menurut pendapat Mazhab Hanafi. Menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi’I darah yang mengalir adalah najis, meskipun ia keluar dari binatang seperti ikan, lalat dan kutu anjing.
Air sisa atau bekas minuman hewan yang suci, tetapi diragukan apakah air itu menyucikan atau tidak, yaitu air sisa minuman bighal dan keledai kampung. Air seperti ini boleh untuk berwudhu atau mandi. Namun setelah iru, hendaklah bertayammum dulu baru kemudian berwudhu atau mandi dengan air itu. Hal ini dilakukan sebagai langkah berhati hati untuk satu shalat. Keraguan ini muncul sebab terdapat pertentangan antara dalil dalil yang menghalalkan dan mengharapkan daging binatang tersebut, dan juga adanya perbedaan pendapat dikalangan para sahabat dalam hal najis atau sucinya binatang binatang tersebut. Atau, karena masalah ini tidak maenjadi masalah darurat atau bailwa (tidak dapat menghindari) yang menggugurkan hukum najis. Hal ini karena binatang binatang tersebut biasanya di tambat di dalam rumah dan ia meminum air di dalam tempat tempat yang digunakan oleh manusia. Hewan ini juga bergaul dengan manusia, bahkan ditunggangi. Menurut pendapat al madzab dikalangan ulama Hanafi, air liur bighal dan keledai adalah suci. Yang diragukan adalah hukum air sisa minumnya itu apakah ia menyucikan atau tidak. Dan yang paling shahih mengenai alsaan munculnya keraguan hukum ini adalah adanya keraguan mengenai dikategorikannya kasus ini sebagai kasus darurat atau tidak. Karena, keledai biasanya di tambat dibagian rumah dan halaman, dan ia mencapai taraf darurat seperti taraf daruratnya kucing dan tikus. Karena, kedua duanya dapat masuk ke tempat sempit, sedangkan keledai tidak dapat berbuat demikian. Maka, air sisa minumannya diragukan apakah menyucikan atau tidak, dari satu segi ia adalah najis karena najisnya air liur, dan dari satu segi ia adalah suci karena terdapat sedikit darurat dan adanya keraguan mengenai air sisa minumannya. Jadi yang menyebabkan timbulnya keraguan adalah hal hal tersebut bukannya masalah pengharaman dagingnya, dan bukan karena terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat tentang sisa minumannya.
Air sisa atau bekas binatang atau hewan yang najis Mughalladzah (berat). Air ini tidak boleh digunakan sama sekali kecuali dalam keadaan darurat, sama seperti hukum memakan bangkai. Yang termasuk air ini ialah air sisa minuman anjing, babi atau binatang buas seperti singa, harimau, serigala, kera dan musang. Najisnya anjing adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw.,
“apabila anjing meminum didalam wadah air kamu, maka hendaklah (wadah itu) di basuh 7 kali.”
Apabila tempat air itu dianggap najis, maka airnya tentulah lebih berhak untuk dikatakan najis. Hal ini menunjukkan bahwa anjing itu najis. Najisnya binatang buas ialah karena daginnya najis dan air liurnya yang bercampur dengan air adalah keluar dari dagingnya, maka menyebabkan air itu najis.
Sedangkan sisa minuman binatang atau hewan yang memakan najis, seperti kucing dan tikus. Apabila pada mulutnya ditemui ada najis, maka air sisa atau bekasnya adalah sama seperti air yang bercampur dengan najis, tetapi jika mulutnya didapati bersih, maka air sisanya dihukumi suci, dan jika tidak diketahui, maka ia dimaafkan. Karena, ia termasuk perkara yang sulit untuk dihindari, tetapi makruh menggunakannya. Adapun mengenai najisnya benda yang dihindari itu terdapat dua pendapat, pendapat yang rajih adalah yang mengatakan bahwa ia suci.
Air sisa minuman hewan dan burung yang makan dengan cara menyambar (burung buas) adalah suci, tetapi menggunakan air sisa atau bekas minuman hewan yang tidak terpelihara dari najis seperti burung adalah makruh
BAB III
PENUTUP
Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa thaharah sangat penting bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya. Karena pada dasarnya manusia itu adalah fitrahnya bersih. Oleh karena itu wajarlah jika ajaran islam menyuruh untuk berthaharah dan menjaga kebersihan. Selain itu dengan thaharah seseorang diajarkan untuk sadar dan mandiri dalam nebjaga dirinya dari hal hal kotor, memahami arti dari sopan santun karena seorang muslim harus suci ketika berhadapan dengan Allah dalam sholatnya, karena Allah mrnyukai orang orang yang taubat dan membersihkan dirinya.
Demikian makalah tentang “thaharah” ini kami buat. Semoga makalah ini dapat diterima dan dipahami oleh para pembaca, dan juga membawa manfaat untuk kehiduapan selanjutnya. Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna, dan masih memerlukan kritik dan juga saran dari para pembaca. Maka dari itu kritik dan saran akan kami tunggu dan akan kita jadikan sebagai pelajaran dan juga bekal untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Hasbiyallah, M.ag. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Murtadha Muthahhari, M.Baqir Ash-Shadr. 1993. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah
Prof. Dr. Mahmud Syalthut, Ali A-Sayis.2000. Fiqih Tujuh Madzab.Bandung:CV Pustaka
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. 2007. Fiqih Islam Wa Adillatuhu.Depok: Gema Insani dan Darul Fikir
Muhammad Sayyid Sabiq.2012. Fiqih Sunnah: Pena Pundi Aksara
Dr. Asmaji Muchtar.2015. Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’I Masalah Ibadah. Jakarta: Amzah
Saleh Al-Fauzan. 2006. Fiqih Sehari-Hari. Depok: Gema Insani
Dr. Marzuki, M.ag.2012.Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.hal,124
https://islam .nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-menyucikannya
Belum ada tanggapan untuk "Fiqih Thaharah: Cara Bersuci Dari Hadats dan Najis"
Posting Komentar