Teori Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnyadan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'. (Zuhaili, 1989, IV, hal.56-57)
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk memenfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publk (fasiliyas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjad aset publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut kembali kepadas asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu.
Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimilii kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut.
Begitu jiuga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini tidak boleh di diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang dilatar belakangiadanya dlarurat atau kemaslahatan yang mendesak. Aset pemerintah layakny harta anak yatimyang tidak boleh ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas. (Zuhaili, 1989, IV,hal.57-58)
Dilihat dari unsur harta (benda dan manfaat), kepemilikan dapat dibedakan menjadi milk tamm dan milk al-naqish. Milk tamm adalah kepemilikan atas benda seka;igus atas manfaatnya, pemilik memiliki hak mutlak atas kepemilikan ini tanpa dibatasi dengan waktu. Selain itu, kepemilikan ini tidak bisa digugurkan kecuali dengan jalan yang dibenarkan syara', seperti jual beli, mekanisme hukum waris, ataupun wasiat.
Dalam milk al tamm, pemilik memiliki kewenangan mutlak atas harta yang dimiliki. Ia bebas melakukan transaksi, investasi atau hal lainnya, seperti jual beli, hibah, waqf, wasiat, i'arah, ijarah, dan lainnyakarena ia memilikidzat harta benda sekaligus manfaatnya. Jika ia merusak harta yang dimiliki, maka tidak berkewajiban untuk menggantina. Akan tetapi, dari sisi agama, ia bisa mendapatkan sanksi, karena merusak harta benda haram hukumnya.
Sedangkan milk al naqish (kepemilikan tidak sempurna) adalahkepemilikan atas salah satu unsur harta benda saja. Bisa berupa kepemilikian atas manfaat tanpa memiliki bendanya, atau kepemilikan atas bendanya tanpa disertai pemilikan manfaatnya.Milk al naqish dapat dikatagorikan sebagai berikut. (Zuhaili, 1989, IV, hal.59-61)
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnyadan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'. (Zuhaili, 1989, IV, hal.56-57)
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk memenfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publk (fasiliyas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjad aset publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut kembali kepadas asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu.
Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimilii kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut.
Begitu jiuga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini tidak boleh di diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang dilatar belakangiadanya dlarurat atau kemaslahatan yang mendesak. Aset pemerintah layakny harta anak yatimyang tidak boleh ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas. (Zuhaili, 1989, IV,hal.57-58)
Dilihat dari unsur harta (benda dan manfaat), kepemilikan dapat dibedakan menjadi milk tamm dan milk al-naqish. Milk tamm adalah kepemilikan atas benda seka;igus atas manfaatnya, pemilik memiliki hak mutlak atas kepemilikan ini tanpa dibatasi dengan waktu. Selain itu, kepemilikan ini tidak bisa digugurkan kecuali dengan jalan yang dibenarkan syara', seperti jual beli, mekanisme hukum waris, ataupun wasiat.
Dalam milk al tamm, pemilik memiliki kewenangan mutlak atas harta yang dimiliki. Ia bebas melakukan transaksi, investasi atau hal lainnya, seperti jual beli, hibah, waqf, wasiat, i'arah, ijarah, dan lainnyakarena ia memilikidzat harta benda sekaligus manfaatnya. Jika ia merusak harta yang dimiliki, maka tidak berkewajiban untuk menggantina. Akan tetapi, dari sisi agama, ia bisa mendapatkan sanksi, karena merusak harta benda haram hukumnya.
Sedangkan milk al naqish (kepemilikan tidak sempurna) adalahkepemilikan atas salah satu unsur harta benda saja. Bisa berupa kepemilikian atas manfaat tanpa memiliki bendanya, atau kepemilikan atas bendanya tanpa disertai pemilikan manfaatnya.Milk al naqish dapat dikatagorikan sebagai berikut. (Zuhaili, 1989, IV, hal.59-61)
Belum ada tanggapan untuk "Fiqh Muamalah : Teori Kepemilikan Harta"
Posting Komentar