MAKALAH FIQHI IBADAH
“SHALAT BERJAMA’AH”
DOSEN PENGAMPUH
H.SUDIRMAN,MA
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8
Fitriani
(19.1200.030)
M.
Taufiq Suaib (19.1200.011)
INSTITUT
AGAMA ISLAM PAREPARE
FAKULTAS
TARBIYAH
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atar rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “SHALAT BERJAMA’AH”. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah “FIQHI
IBADAH”.
Dalam penulisan
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan
makalah ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada dosen kami dalam hal ini H. SUDIRMAN, MA. yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Larompong,
28 April 2020
Penulis
Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
A.Latar belakang ………………………………………………………………...
B.Rumusan Masalah……………………………………………………………...
C.Tujuan………………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………
A.Dalil dan Hukum sholat berjama’ah……………………………………………
B.Orang yang berhak menjadi imam………………………………………………
C.Posisi Imam dan Makmum……………………………………………………….
D.Tata karma dan sunnah-sunnah
sholat berjama’ah………………………………
E.Kehadiran kaum wanita ke mesjid………………………………………………
F.Mekanisme pelaksanaan sholat
Masbuq…………………………………………
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..
A.Kesimpulan………………………………………………………………………
B.Saran………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Islam merupakan agama yang memiliki
aturan-aturan dan ajaran-ajaran yang lengkap dan sempurna. Kelengkapan
dan kesempurnaan ajaran-ajarannya dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan.
Aspek-aspek yang menjadi perhatian islam tidak hanya aspek kehidupan yang
berhubungan langsung dengan Allah SWT sebagai Dzat yang wajib disembah akan
tetapi aspek kehidupan itu juga meliputi hubungan sesamam manusia.
Dalam hubungan
secara langsung dengan Allah SWT, islam telah memberikan tata cara khusus yang
harus dilakukan oleh umat islam. Tata cara yang mengatur hubungan langsung
hanya dapay menjembatangi hubungan batin manusia dengan Allah SWT, hubungan
manusia dengan penciptanya. Dan bahkan mereka urgennya, sampai-sampai
Rasulullah SAW dalam menerima titah shalat ini harus diisra’-mi’rajkan,
Rasulullah secara langsung bertemu dengan Allah SWT, beliau diperintah oleh
Allah SWT untuk melaksanakan sholat dan
juga kepada umatnya.
Shalat
berjam’ah termasuk salah satu keistimewaan yang diberikan dan disyariatkan
secara khusus bagi umat islam. Berjama’ah mengandung nilai-nilai pembiasaan
diri untuk patuh, bersabar, berani, dan tertib aturan, disamping nilai social
untuk menyatukan hati dan menguatkan ikatan karena semakin shaleh dan taatnya
seseorang pada agama dan bentuk-bentuk peribadatan, tentu hal itu akan membawa
seseorang semakin shakeh secara social, karena itu adalah tuntunan pasti dari
islam. Jadi shalat berjama’ah adalah hal yang harus selalu kita perhatiakan,
tidak sekedar kita menganggap untuk kepentingan pribadi kita, tidak sekedar
memenuhi mesjid tetapi lebih dari itu adalah kita harus menumbuhkan perasaan
islam, persatuan dalam bermasyarakat dan persatuan dalam beragama.
Berkenaan
dengan urgensi sholat berjama’ah bagi persatuan umat islam, maka kami menyusun
sebuah makalah yang mampu menjadi wahana bagi umat islam untuk mmemperolah
wawasan dan konsep keilmuwan berkenaan dengan shalat berjama’ah ini baik secara
teoritis maupun secara praktis. Oleh karena itu, kami menulis sebuah makalah
yang berjudul “SHALAT BERJAMA’AH”.
B.Rumusan
Masalah
1.Sebutkan dalil
dan hukum sholat berjama’ah?
2.Siapa saja
orang yang berhak menjadi imam ?
3.Bagaimana
tata karma dan sunnah-sunnah sholat berjama’ah?
4.Bagaimana Posisi
imam dan makmum?
5.Kehadiran
kaum wanita ke mesjid ?
6.Bagaimana
mekanisme sholat bagi yang masbuq ?
C.TUJUAN
1.Agar
mengetahui betapa pentingnnya sholat berjama’ah
2.Agar lebih
mengutamakan orang yang lebih fasih untuk menjadi imam
3.Dapat
mengetahui posisi yang tetap pada saat sholat berjama’ah
4.Dapat
mengamplikasikan sunnah-sunnah dalam melaksanakan sholat berjama’ah
5.Memperoleh
pengetahuan akan mekanisme yang tepat pada saat masbuq
BAB II
PEMBAHASAN
A.Dalil dan hukum sholat berjama’ah
·
Dalil Al-Qur’an
Dari
dalil yang menunjukan wajibnya sholat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala
dalam QS.Al-Baqarah/2 : 43
وَاَقِيْمُواالصَلَاةَ
وَآتُزَّ كَا ةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ
“Dan dirikanlah sholat,
tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang yang rukuk “
QS. An-Nisa :102
وَإِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَلَاةَ فَلْتَقُمْ طَآ
ءِفِةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
ari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata “
·
Dalam Shahihain (shahih Bukhari dan Muslim), Nabi SAW
bersabda :
لقد
هممت أن آمر با الصلاة فتقا م ثم آمر رجلا فيؤم الناس , ثم أنطلق بر جا ل معهم حز
م من حطب إلى قوم لا يشهدون . الصلاة فأ حرق عليهم بيو تهم
“Sesungguhnya aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga
shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimani manusia, lalu aku
bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak
menghadiri shalat, lantas aku akan bakar rumah-rumah mereka”
·
Shahih dari Nabi SAW bersabda
من
سمع النداء فلم يأ ته فلا صلاة له إلا من عذ
“Barang
siapa yang mendengar seruan adzan, nmun ia tidak mendatanginya maka tidak ada
shalat baginya kecuali apabila ada udzur padanya”
Berdasarkan
dalil Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw,
tidaklah boleh meninggalkan sholat berjama’ah untuk setiap shalat fardhu.
Karenanya, tak ada seorangpun dari kaum muslim, baik yang menetap (mukimin)
maupun yang musafir, yang tidak menegakkannya.
·
Hukum sholat berjama’ah
Khalil,
seorang ulama dari kalangan Mazhab Al Maliki dalam kitabnya Al Mukhtashar mengatakan
bahwa shalat fardhu berjama’ah hukumnya sunnat mu’akkad kecuali shalat jama’ah
pada sholat jum’at. Padahala 27 derajat (kali) dibandingkan dengan shalat
sendirian.
Rasulullah SAW. Bersabda :
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَ سُولـُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صلا ةُ الجَمَا عَةِ اَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الفَذِّ بِسَبْعٍ
وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
“Dari
ibnu ‘Umar ra. Berkata : Bahwa Rasulullah SAW. Telah bersabda :”Shalat
berjama’ah lebih utama pahalanya dari pada shalat sendirian, sebanyak 27 derajat
kelebihannya dibandingkan dengan shalat sendirian”. (H.R Bukhari dan Muslim )
Sholat
berjama’ah dimasjid lebih utama dilakukan dimesjid dari pada dirumah, kecuali
shalat sunnat.
Sabda Rasulullh SAW. :
عَنْ
زَيْدِبْنِ ثَا بِتٍ رَ ضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : صلُّوا اَّيُّهَا النَّاسِ فى بُيُوْتِكُمْ . فإنَّ اَفْضَلَ
الصّلاةِ صلاةُ المَرْءِ فى بَيْتِهِ اِلّاَ المَكْتُوْبَةُ
“Dari
Zaid bin Tsabit ra. Berkata : Bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Shalatlah kamu
hai manusia dirumahmu masing-masing !. sesungguhnya sebaik-baiknya shalat ialah
shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat lima waktu. (H.R
Bukhari)
Setiap shalat berjama’ah yang dilakukan oleh seseorang, baik di
rumah atau d masjid. Berapapun jumlah jamaa’ahnya dianggap sudah cukup. Lebih
disukai bila shalat berjama’ah itu dilakukan di masjid yang lebih besar, tempat
banyak orang bisa ikut berjama’ah disana. Jika seseorang tinggal di wilayah
yang ada mesjid tempat orang menunaikan shalat berjama’ah, tetapi ia
ketinggalan sholat berjama’ah di masjid itu, maka ia di anjurkan untuk
mendatangi masjid lain yang belum selesai shalat berjama’ah. Namun, jika ia
tidak mendatangi masjid lain dan tetap memilih shalat sendiri dimasjid
wilayahnya yang ia terlambat datang, maka itu ia pun juga baik.
B.ORANG YANG
BERHAK MENJADI IMAM
Orang yang merdeka boleh bermakmum kepada seorang hamba. Orang
dewasa belum boleh bermakmum kepada seorang anak yang sudah mendekati usia
baligh dan pandai (muraqih).
Seorang
laki-laki tidak boleh bermakmum kepada perempuan. Begitu juga, orang yang bisa
membaca surah Al-fatihah dengan baik tidak boleh bermakmum kepada yang masih
awam (orang yang bacaan surah al-fatihah-Nya tidak baik.
Orang yang
patut dijadikan imam ialah seorang di antara
mereka yang lebih baik bacaannya, yaitu orang yang lebih fasih lidahnya dalam
membaca Al-Qur’an diandingkan dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan hadist
Nabi saw :
عَنْ اَبِى
سَعِيْدٍ رَضِى اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُـ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
اِذَا كَانُوْا
ثَلَا ثَةً فَلْيَؤُمُّهُمْ اَحَدُ هُمْ وَاَحَقُّهُمْ بالاِمَامَةِ اَقْرَؤُهُمْ
“Dari Abu Sa’id
ra. Berkata, nahwa Raulullah saw.telah bersabda : ‘Jika mereka bertiga, maka
hendaklah mereka jadikan imam salah seorang di antara mereka, dan yang lebih
patut (berhak) di antara mereka untuk jadi imam ialah orang yang lebih fasih
bacaannya’.” (H.R Muslim)
Dalam hadist
lain dinyatakan pula sebagai berikut :
عَنْ اَبِى
زَيْدٍ عُمَرُوبْنِ اَحْطَبَ رَضِى اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّ اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : اِذَ كَا نُوْا ثَلَاثَةً
فَلْيَؤُمُّهُمْ اَقْرَؤُهُمْ لِكِتَا بِ
اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ . فَاِن كَنُوا فِى القِرَاءَةِسَوَا ءً فَاَكْبَرُهُمْ سِنًّا . فَاِنْ
كَا نُوا
فِى السّنِّ
سَوَاءً فَاَحْسَنُهُمْ وَجْهًاز
“Dari Abu Zaid
‘Amrin bin Ahthab ra,Nabi saw.telah bersabda : ‘Bila ada mereka bertiga, maka
hendaklah mereka menjadi imam salah seorang diantara mereka yang lidahnya lebih
fasih dalam membaca kitab Allah ‘Azza wa Jalla ; jika mereka sama bacaannya,
maka pilihlah yang lebih tua umurnya, dan jika umur mereka sama, maka pilihlah
di antara mereka yang lebih simpatik rupanya” (H.R Baihaqi)
C.POSISI IMAM
DAN MAKMUM
Seorang makmum boleh shalat
mengikuti imamnya dimana saja, asalkan masih didalam mesjid dan mengetahui
shalat imam serta tidak mendahului posisi imam. Jika imam shalat didalam masjid
dan makmum berada dilar masjid dengan jarak yang relative dekat tetapi ia tetap
bisa mengetahui shalat imam dan tidak ada pembatas (yang menghalanginya), maka
shalatnya tetap sah.
Yang dimaksud dengan mengetahui
shalat imam disini adalah bahwa ia mendengarkan bacaan dan suara imam, melihat
gerak gerik imam secara langsung, melaui perantara, atau dengan cara melihat
gerakan makmum-makmum yang lain.
Mengenai posisi
berdirinya imam dan makmum dalam shalat berjama’ah perlu dirinci menjadi
beberapa keadaan :
1.Jika shalat
berjama’ah hanya dua orang
Jika keduanya laki-laki maka posisnya sejajar dan makmum terletak
disamping kanan imam. Sebagaimana hadist dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahumma,
ia berkata :
“Aku (Ibnu
Abbas) mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang shalat
di akhir malam. Mak akupun shalat dibelakang beliau. Lalu beliau mengambil
tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (H.R Ahmad 1/330, dan
dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnab Ahmad )
Hal ini berlalu
baik pada laki-laki maupun yang shalat berdua sesame wanita.
2.Jika makmum
lelaki lebih dari satu
Maka posisi makmum yang erada di
belakang imam membentuk barisan. Jabir bin Abdillah ra mengatakan :
قُمت عَنْ يسا
رِ رَ سُو لِ اللهِ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وسلّمَ فأخذَ بِيَدِي فأدار ني حتى أقا مني
عن يمِيْنِهِ
ثُمَّ جا ءَ جبّا رُ بْنُ صُخرٍ فتو ضّأ ثم جا ء فقا م عن يسا رِ رسو لِ اللهِ صلى
اللهِ صلّى
اللهُ عليْهِ وسلم بيدينا جميعاً فد فعنا حتّى أقا منا خلفهُ
“Aku berdiri di
sisi kiri Rasulullah saw. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga
aku berdiri di seblah kanan beliau.kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri
Rasulullah saw memgang tangan kami semua dan mendorong kami hingga kami beriri
dibelakang beliau” (HR Muslim no.5328).
3.Makmum wanita
Jika seorang lelaki mengimani
wanita, maka perlu diketahui bahwa shalatnya seorang lelaki bersama wanita
perlu rinci. Al imam An Nawawi menjelaskan :
قا ل أصحا بنا :
إذا أمّ الر جل با مر أته أو محر له , و خلا بها : جا ز بلا كرا هة :
لأ نه ينا ح له
الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأ جنبية , وخلا بها :
حر م ذلك عليه
وعليها , للأ حا ديث الصحيحة التي سأذ كر ها إن بأ جنبيات وحلا بهن :
فقطع الجمعهو ر
با لجواز
“Para ulama
Madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimani istrinya atau mahramnya,
dan hanya berdua, hkumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan
dengan (istri dan mahram) diluar shalat. Adapun jika ia mengimani wanita yang
bukan mahram, dan hanya erduaan, maka haram nagi silelaki dan haram bagi si
wanita. Karena hadist-hadist shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan
terlarangnya. Jika satu lelaki mengimani beberapa wanita dan mereka berkhalwat,
maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’,4/173)
Adapun posisi
wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun
banyak, maka posisinya adalah dibelakang imam. Berdasarkan keumuman hadist Anas
bin Malik ra, ia berkata :
صَلّيتُ أنا و
يتِيمٌ فِي بَيْتِنا خَلْفَ النّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ
وسلّم وأمِّي أمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“ Aku shalat
bersama seorang anak yatim dirumah kami di belakang Nabi saw, dan ibuku Ummu
Sulaim di belakang kami” (HR Bukhari no. 727, Muslim no. 658).
4.Dalam kondisi
sempit
Dalam kondisi tempat yang sempit
sehingga tidak bsa memposisikan imam dan makmum dalam posisi yang ideal, maka
posisinya menyesuaikan keadaan. Sebagaimana hadist dari Al Aswad bin Yazid, ia
berkata :
أنا وعلقمةُ علَى عبدِ اللهِ بنِ مَسعودٍ فقا لَ
لَنا أصلّلى هؤلاء ؟ قُلنا : لا ! دخلتُ
قال قلفه فجعل
أحد نا عن يمينهِ والآ خر عن شما لهِ ...
وقا ل : هكذا ر
أيتُ رسو لَ اللهِ فعلَ
“Aku bersama
Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami : apakah
kalian sudah shalat ? Kami berkata : belum. Beliau mengatakan : kalau begitu
bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau.
Beliau memposisikan salah satu dati kami diseblah kanan beliau dan yang lain di
seblah kiri beliau. Beliau berkata : demikianlah yang aku lihat dari perbuatan
Rasulullah saw” (HR. Muslim no. 534, An Nasa-I no. 719 dan ini lafadz an
Nasa-i).
D.Tata Krama
dan Sunnah-sunnah Shalat Berjama’ah
EtikaImam (TataKramaImam).
Etikamerupakantatakramayang
harusdiketahuidandipahami. Didalam
shalat berjamaah
terdapat beberapa etika,
etika
yang harus dimilikioleh seorangimam ialah:
a.
Mengedepankan yang lebih
berhak menjadi imam.
Imam umatislamadalahyangpalingbagusbacaannya
dalam membacakitabAllah.
Jikamerekasamadenganas-sunah,makaorang
yangpalingduluhijrah.Jikamerekasamadalamhijrahmakaorang
yangpalingdulu
masuk
islam.
b.
Meluruskanshaf
Hendaknya
imammemerintahkan agarmakmumnya meluruskan
barisannya(shaf).Imamhendaknya tidakmemulai shalatnyasebelumbarisannyatelahlurusdanrapi.[1]Sesungguhnya Rasulmember petunjukcara merapikanshaf denganmenyentuh
pundak–pundak makmum untuk
memastikan lurusnya
shaf.
c.
Imam
memperpendek shalatnya.
Memperpendek
shalatdisinibukan berartimengurangi
kekhusu’an ataumelenyapkanketenanganshalat.Bahkan sesungguhnyaorangyang menginginkanshalatyang
singkat
hendaknyashalatsepertiRasulullah
SAW.
Makasesungguhnyadia merupakanhambaAllahyangpalingtaat,palingkhusyu’
danpaling penyayangsemuamanusia.
Namun bagisebagianorang, shalatyangterlalupanjang sangat
membosankan,bukankekhusukanyang didapat,tapikejenuhandan
pikiranyang
melayang-layang.Disinilahpesanyangterkandungbagi imamshalat agar
merekatidak
terlalumemanjang-manjangkan
shalat.
Karena jamaah
juga
manusia
yang punya
urusan
dan kemampuan yangberbeda.Jadiseorangimamharusmemahamikeadaanjamaah, hindarimemukulratakemampuandankesiapansebuahjamaahhanya
dari sudut pandang kita.
Dalam jamaah biasanya
ada
orang
yang lemah,
adaoragtua danadapulayangsedangmempunyai urusan.[2]
d. Imam menoleh setelah
salam.
Hendaknyaimammenoleh setelah salam dan
menghadpakan
wajahnya kearahmakmum. Sesungguhnyahalinidisuruhbagiimam
untukmenolehkea rahjamaahatau makmumsetelahmembaca beberapawirid dan
dzikir.
Allahmenjadikandzikir sebagaipenutupdariberbagaiibadah,
misalnya shalat.Allah
berfirman,makaapabila telah kamuseleseikan
sembahyang,makaingatlahAllahdikalaberdiridandikaladuduk dandi kala(berbaring)dirusukkamu.[3]Orangyang
bersyukurialah orangyang
ingatkepadaAllah,“dzikirmerupakanpuncakrasa syukur”.[4]
BerapabanyakkasihsayangyangtelahAllahberikanuntuk manusia tanpa mengenalbataswaktu,usia,dankedudukansosial
didunia. Salah satu cara
untukmengungkapkanrasa
syukurtersebut yaitudengandzikrullah.Adapunmanfaatdaridzikirantara lain membuatTuhanridha,menerangiwajah dankalbumenguatkankalbu dantubuh,menjauhkandiridarisifatmunafik,melarutkankerasnya
kalbu,mengusir,menundukan,danmenumpassetan.[5]Meluangkan sedikitwaktusetelahshalatmenjadisuatuyang menyenangkan
mengingat begitu besarmanfaat
dzikiryangtelahdisebutkan di atas.
Etika Makmum
Etikaatautata karma selaindimiliki
olehseorangimamjuga
harus dimilikioleh makmum.Adapun etikayang
harus
dimilikioleh
makmum antaralain:
Posisi ahli agama, berilmu
dan tua dibelakangimam.
Sebaiknyapadashaf pertamaditempatiolehpara agamawan
(ulama), kemudianorangyangberilmudanberumurtua.Jabatan imam adalah amanah
dan pertanggung jawaban,
kemudian yang didapatdarinyatidak sebanding
dengantanggung jawabyangakan
dipertanyakan.
Iamenjadi panutanbagi jamaahnyadalam masalah
shalat.Namundisisilain,ia adalah
manusia
biasa sajayangbiaslupa
dan salah.
Oleh karena
itu, di shaf paling
depan diutamakan
ulama, kemudian
disusul orang-orang
yangtingkatanya di
bawah mereka. Dengan begitu, apabilaterjadi
sesuatupadaimam dalam shalatnya, makmum yang berdiri dibelakang imam tahu apa
yang harus di lakukansehingga paramakmumtidakgelisahdanberisik. Tetapibila merekadatang
terlambat,makasesungguhnyaoranglainyang
datang lebih awal berhak
untukberadapadaposisi mereka.
Bershafyangbaik.
Meluruskan shafdantidakmembiarkansedikitpunshafyang bengkok,mengisikekosongan,menyambungshafyang renggang,
merapatkan pundak-pundak jamaah
denganyanglainnya.
Makmum berittiba’(mengikuti) imam.
Bagimakmumdiwajibkanuntukmengikutiimam
dalamsemua amalan-amalan shalatnya.Bila imammelakukansuatuamalanshalat
hendaknyamakmum melakukan
setelah imam.
Mengucap “amin”setelah imam membaca al-fatihah.
Denganperantarakalimat“amin”dosa-dosayang telahlewat akandiampuni,maka dalamhalinidianjurkanbersungguh-sungguh dalammengaminiimamdanganucapan“amin”setelahmembaca Al-
Fatihah.
Sunah Dalam Shalat Berjama’ah
1.
Meluruskan
shaf. Imam harus memerintahkan para jama’ahnya untuk meluruskan shaf dan harus
meyakinkannya.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْتَدِلُوا فِي صُفُوفِكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، قَالَ أَنَسٌ : فَلَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْصِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ (الشيخان)
Sabda Rasulallah saw dari Anas ra ” ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian dan rapatkanlah, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”, Anas ra berkata ”sesungguhnya aku telah melihat salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya.” (HR Muttafaqun ’alaih).
2.
Mengutamakan duduk di shaf awal.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا (الشيخان)
Sesuai dengan sabda Rasulullah saw
dari Abu Hurairah: ”Seandainya manusia mengetahui keutamaan panggilan adzan dan
shaf awal kemudian tidaklah mereka bisa mendapatinya kecuali dengan berundi,
pastilah mereka berundi”. (HR Muttafaqun ’alaih).
3.
Menjaga agar bisa shalat berjama’ah bersama imam dan mengikutinya
dari takbiratul ihram.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ به فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا (الشيخان):
Sesuai dengan
sabda Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra: ”Sesungguhnya imam dijadikan untuk
diikuti” (HR Bukhari Muslim).
4.
Disunahkan bagi imam agar meringankan dalam bacaan dan dzikirnya di
samping itu ia tidak meninggalkan sunah-sunah ab’adh dan haiat sedikitpun.
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ , وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ (رواه الشيخان)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ”Jika sesorang
shalat dengan manusia, maka ringankanlah karena diantara mereka ada yang lemah,
yang sakit dan orang yang ada kebutuhan. Jika ia bershalat sendiri maka
panjangkanlah sesukanya” (HR. Muttafaqun ’alaih).
5.
Jika terasa ada yang datang ingin bermakmum kepada imam, dan imam
dalam posisi ruku’ atau tasyahud akhir, maka disunahkan bagi imam agar
menunggunya sampai ia ruku’ atau tasyahud akhri bersama imam. Hal ini agar yang
baru datang itu mendapat satu raka’at atau medapatkan pahala berjama’ah bersama
imam. Ini lebih utama bagi imam sesuai dengan sunnah Nabi saw.
6.
Jika yang bershalat jama’ah hanya imam dan mamum, maka posisi mamum
berada di sebelah kanan imam, sejajar tapi mundur sedikit kebelakang.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ: بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ … ثُمَّ قَامَ ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ (رواه البخاري)
Sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas ra, ia berkata ”Aku bermalam di rumah bibiku Maimunah (istri Nabi saw)… Rasulallah saw bagung shalat maka aku datang shalat bersama beliau, aku berdiri di samping kirinya, lalu beliau menempatkan aku di sebelah kanannya (HR Bukhari ).
Jika datang orang ketiga ingin shalat berjamaah bersama imam maka
mamum mundur kebelakang atau imam maju kedepan dan orang yang ketiga masuk
dalam shaf.
عَنْ جَابِر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقُمْتُ عَنْ يَسَارِه ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ (رواه مسلم)
Dari Jabir ra, ia berkata: ”Aku berdiri shalat di samping kiri Rasulallah saw. Maka beliau menarik diriku dan dijadikan di samping kanannya. Tiba-tiba Jabbar bin Shakhr berwudhu dan datang (untuk shalat), ia berdiri di sebelah kiri beliau, lalu beliau mendorong kami ke belakang sehingga berbaris di belakang beliau. (HR Muslim).
عَنْ جَابِر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقُمْتُ عَنْ يَسَارِه ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ (رواه مسلم)
Dari Jabir ra, ia berkata: ”Aku berdiri shalat di samping kiri Rasulallah saw. Maka beliau menarik diriku dan dijadikan di samping kanannya. Tiba-tiba Jabbar bin Shakhr berwudhu dan datang (untuk shalat), ia berdiri di sebelah kiri beliau, lalu beliau mendorong kami ke belakang sehingga berbaris di belakang beliau. (HR Muslim).
7.
Jika yang shalat semuanya wanita maka imam wanita berdiri di tengah
mamum wanita
لِمَا رُوِيَ أَنَّ عَائِشَةَ وَ أُمَّ سَلَمَة رَضِيَ الله عَنْهُمَا أمّتا نِسَاءً فَقَامَتَا وَسَطَهُنّ (الشافعي و البيهقي بإسناد حسنين)
Sesuai dengan
riwayat bahwa Aisyah ra dan Ummu Salamah ra shalat menjadi imam bagi kaum
wanita dan beliau berdiri di tengah shaf. (HR As-Syafie dan al-Baihaqi dengan
sanad shahih).
E.Kehadiran kaum wanita ke masjid
Para ulama telah bersepakat bahwa shalat seorang laki-laki lebih
utama dilakukan berjama’ah di masjid daripada di rumahnya, sebagaimana hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Shalat
berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh
derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa telah datang
seorang laki-laki buta menemui Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah aku tidak
memiliki penuntun yang akan membawaku ke masjid.’ Ia meminta agar Rasulullah
saw memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya untuk melakukan shalat di
rumahnya lalu Nabi saw memberikan rukhshah kepadanya. Namun tatkala orang itu
berlalu maka beliau saw memanggilnya dan bertanya kepadanya,’Apakah kamu
mendengar suara adzan untuk shalat?’ orang itu berkata,’ya.’ Beliau
bersabda,’kalau begitu kamu harus menyambutnya (ke masjid).” (HR. Muslim)
Adapun bagi seorang wanita maka kehadirannya di masjid untuk
melakukan shalat berjama’ah diperbolehkan bagi mereka yang sudah tua dan
dimakruhkan bagi yang masih muda karena dikhawatirkan adanya fitnah. Untuk itu
yang lebih utama baginya adalah melakukan shalat di rumahnya, demikian menurut
DR. Wahbah.
Beberapa pendapat para ulama tentang permasalahan ini adalah :
1.
Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya mengatakan bahwa makruh bagi
seorang wanita yang masih muda menghadiri shalat berjama’ah (di masjid) secara
mutlak karena dikhawatirkan adanya fitnah. Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak
mengapa bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk shalat shubuh,
maghrib dan isya karena nafsu syahwat bisa menimbulkan fitnah di waktu-waktu selain
itu. Orang-orang fasiq tidur pada waktu shubuh dan isya kemudian mereka
disibukan dengan makanan pada waktu maghrib. Sedangkan kedua orang sahabatnya
membolehkan bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk melakukan
semua shalat karena tidak ada fitnah didalamnya dikarenakan kecilnya keinginan
(syahwat) seseorang terhadapnya.
Dan madzhab dikalangan para ulama belakangan adalah memakruhkan wanita menghadiri shalat jama’ah walaupun shalat jum’at secara mutlak meskipun ia seorang wanita tua pada malam hari dikarenakan sudah rusaknya zaman dan tampaknya berbagai kefasikan.
Dan madzhab dikalangan para ulama belakangan adalah memakruhkan wanita menghadiri shalat jama’ah walaupun shalat jum’at secara mutlak meskipun ia seorang wanita tua pada malam hari dikarenakan sudah rusaknya zaman dan tampaknya berbagai kefasikan.
2.
Para ulama Maliki mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang wanita
dengan penuh kesucian dan tidak memikat kaum laki-laki untuk pergi ke masjid
melakukan shalat berjama’ah, id, jenazah, istisqo (shalat meminta hujan), kusuf
(shalat gerhana) sebagaimana dibolehkan bagi seorang wanita muda yang tidak
menimbulkan fitnah pergi ke masjid (shalat berjama’ah) atau shalat jenazah
kerabatnya. Adapun apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah maka tidak
diperbolehkan baginya untuk pergi ke masjid secara mutlak.
3.
Para ulama Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa makruh bagi para
wanita yang cantik atau memiliki daya tarik baik ia adalah seorang wanita muda
atau tua untuk pergi ke masjid shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki karena
hal itu merupakan sumber fitnah dan hendaklah ia shalat di rumahnya. Dan
dibolehkan bagi para wanita yang tidak menarik untuk pergi ke masjid jika ia
tidak mengenakan wangi-wangian dan atas izin suaminya meskipun sesungguhnya
rumahnya lebih baik baginya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau
melarang para wanita itu pergi ke masjid meskipun rumah mereka lebih baik bagi
mereka.” Didalam lafazh lainnya disebutkan,”Apabila para wanita kalian meminta
izin kepada kalian pada waktu malam hari untuk ke masjid maka izinkanlah
mereka.” (HR. Jama’ah kecuali Ibnu Majah) yaitu jika aman dari kerusakan
(fitnah). Juga sabdanya saw,”Janganlah kamu melarang para wanita pergi ke
masjid, hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad, Abu
daud dari Abu Hurairoh) dan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw
bersabda,”Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah didalam rumahnya.” (HR.
Ahmad)
Intinya adalah bahwa tidak dibolehkan bagi seorang wanita cantik
(menarik) untuk pergi ke masjid dan dibolehkan bagi wanita yang sudah tua. (al
Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1172 – 1173)
F.Mekanisme pelaksanaan sholat masbuq
Masbuq adalah orang yang ketinggalan shalat imam, baik satu
rakaat maupun lebih, sebelum ia mengikutinya. Dalam kondisi ini, ma’mum masbuq
dapat mengikuti shalat dengan mekanisme sebagai berikut:
1.
Langsung mengikuti apa yang dilakukan imam saat itu, baik dalam
keadaan ruku, sujud, berdiri atau yang lainnya, kemudian setelah imam salam,
ma’mum tersebut harus berdiri dan menambah rakaat yang yang belum ia kerjakan,
dengan menjadikan rakaat yang ia dapatkan bersama imam sebagai awal dari
shalatnya, sehingga ucapan dan perbuatannya didasarkan pada apa yang ia
dapatkan bersama imam. Jika ia misalnya mendapatkan satu rakaat bersama imam
dalam shalat empat rakaat, maka setelah imam salam, ia harus menyempurnakan
shalatnya dengan membaca suarah Al-Fatihah dan membaca surah di rakaat yang
awal, kemudian di dua rakaat setelahnya cukup dengan hanya membaca surah
Al-fatihah.
Mekanisme
pertama ini didukung oleh kalangan ulama madzab syafi’i, ishaq, dan Al-Auza’i.
Mekanisme ini didasarkan pada hadis narasi Abu Hurairah bahwasanya nabi
bersabda:
“Jika iqamah shalat telah dikumandangkan, maka janganlah kamu bergegas mendatanginya dengan berlari-lari kecil, datanglah dengan tetap berjalan. Tetap jagalah ketenangan. Apapun yang kalian temukan dari jamaah maka shalatlah, dan sempurnakanlah apa yang terlewat darimu’’
“Jika iqamah shalat telah dikumandangkan, maka janganlah kamu bergegas mendatanginya dengan berlari-lari kecil, datanglah dengan tetap berjalan. Tetap jagalah ketenangan. Apapun yang kalian temukan dari jamaah maka shalatlah, dan sempurnakanlah apa yang terlewat darimu’’
2.
Rakaat yang ia temui bersama imam dijadikan sebagai akhir
shalatnya, sebagaimana riwayat hadis narasi Abu Hurairah diatas, ini merupakan
versi yang masyur dari pendapat Imam Ahmad.
3.
Apa yang didapatkan ma’mum masbuq bersama imam dijadikan sebagai
awal shalatnya dalam hal perbuatan, maka perbuatannya didasarkan pada hal itu,
sedangkan dalam hal bacaan atau perkataan, apa yang didapatkan ma’mum masbuq
bersama imam dijadikan sebagai akhir shalat. Mekanisme sperti ini adalah versi
yang masyur dari pendapat imam malik. Jadi, jika seorang ma’mum mandapatkan
satu rakaat di selain shalat subuh maka setelah imam salam ia harus melakukan
dua rakaat lagi dengan dengan membaca surat Al-Fatihah dan membaca surah dan
juga melakukan tasyahud di antara keduanya, dan hanya membaca surah al fatihah
saja dirakaat keempat jika shalatnya empat rakaat.
Hal
ini merujuk pada hadis qatadah bahwa ali berkata : “apa yang kau temukan
bersama imam, maka ikutlah awal shalatmu dan tunaikanlah apa yang tertinggal
darimu dari alquran”.
Adapun tata cara salat makmum masbuq diantaranya:
1.
Jika makmum terlambat datang ke masjid dan imam sudah dalam posisi
rukuk, sujud, atau julus (duduk tasyahud), maka ia harus melakukan takbiratul
ihram (dengan berdiri) untuk mulai salat, lalu mengucapkan takbir (Allahu
Akbar) lagi untuk kemudian mengikuti posisi imam. Jika imam masih membaca surat
Al-Fatihah atau surat pendek, maka hanya takbiratul ihram saja.
2.
Setelah imam selesai melakukan salam dan mengakhiri salat, ia tidak
boleh melakukan salam, tetapi langsung berdiri untuk menambah rakaat yang telah
terlewat.
a.
Bila ia baru bisa mengikuti 2 rakaat terakhir salat dzuhur, ashar,
dan isya, maka ia harus menambah 2 rakaat (tanpa duduk tasyahud) setelah imam
melakukan salam. Bila ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir sholat
dzuhur, ashar, dan isya, maka ketika imam melakukan salam ia harus berdiri dan
sholat satu rakaat (dengan Al-Fatihah dan membaca surat pendek), duduk
tasyahud, berdiri lagi untuk rakaat kedua (dengan Al-Fatihah dan membaca surat
pendek), lalu diteruskan berdiri lagi untuk rakaat ketiga (hanya Al-Fatihah).
b.
Jika ia baru bisa mengikuti rakaat ke-2 dan ke-3 salat maghrib,
maka ia harus berdiri dan menambah satu rakaat setelah imam melakukan salam.
c.
Jika ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir salat maghrib, ia
harus berdiri setelah imam melakukan salam, salat satu rakaat, lalu duduk untuk
membaca tasyahud, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rakaat ke-3, setelah
itu duduk untuk tasyahud akhir dan melakukan salam.
3.
Bila makmum bergabung salat jemaah ketika posisi rukuk, maka ia
dianggap telah mengikuti rakaat tersebut. Jika ia bergabung ketika imam sudah
berdiri dari rukuk atau ketika sujud, ia dianggap telah terlambat mengikuti
rakaat tersebut dan harus melakukannya lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.Muhammad
rifa’I.1978.ILMU FIQIH ISLAM LENGKAP. Semarang : PT,Karya taha Putra .
Hal 145-154
Yahya Abdul
Wahid Dahlan, 2003, FIQHI IBADAH. Semarang : Islamic fiqh Centre (IFC).
Hal 71
Abu Ahmad
Najieh. 1437, FIQHI Mazhab Syafi’I, Bandung. Hal 290-296
Yulian Purnama.
2019. FIQHI DAN MUALLAH
Syaik Sayyid
Sabiq . 1995 . FIQHI SUNNAH. Kebonan
Syaikh Jalal
Muhammad Syafi’i.2006.THE POWER OF SHALAT. Bandung : MQ Publishing. Hal
58
Sigit yulianto
dan akbar kaelola.2007. SHALAT KUSYU. Yogyakarta : young crew media. Hal
154
Hamka. TAFSIR
AL AZHAR JUS V-VI Jakarta : Pustaka panjimas. Hal 251
Muhammad
Khalid.2006. Meminta dan mencintai. Jakarta : Sarambi. Hal 193-194
Muhammad Yusuf.
Panduan shalat terlengkap. Pustaka Makmur. Hal 113-115
https://www.google.com/amp/s/hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/29/sunnah-dalam-shalat-berjamaah/amp
http://inilah.com/mozaik/2301716/tata-cara-salat-makmum-masbuk-terlambat
Untuk belajar lebih lengkap tentang hukum fiqih dan penerapannya, silahkan kunjungi: Konsultasifiqih terpercaya
Postingan terkait:
—
April 15, 2022
—
Add Comment
—
Fiqih Ibadah
Belum ada tanggapan untuk "Pembahasan Shalat Jama'ah"
Posting Komentar